“Ketika kita berbicara tentang lingkungan, maka ada makhluk hidupnya. Makhluk hidup di dalamnya adalah manusia. Jadi kalau misalkan haknya diambil, seperti tanah, air, hutan, maka dengan jelas dia tidak ada makanan, dan dia akan menderita. Itu benar-benar haknya dilanggar (sebagai manusia)”
Demikian tutur Aleta Baun atau dikenal dengan Mama Aleta kepada salah satu media yang mewawancarainya. Wanita kelahiran 16 Maret 1966 di tanah Molo, Timoer Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur ini adalah wanita pejuang lingkungan. Tak tanggung-tanggung, perjuangannya selama 17 tahun diganjar penghargaan tertinggi di dunia untuk para pembela lingkungan, yaitu Goldman Environment Prize pada tahun 2013.
Perjuangan Mama Aleta dimulai sejak tahun 1990-an. Ia menentang keras kegiatan pertambangan marmer yang didukung secara ilegal oleh pemerintah, di tanah yang merupakan gunung keramat suku Molo. Perlawanannya ini mendapat balasan keras dari pihak yang berkepentingan. Mama Aleta pernah dibacok kakinya, dipukuli, bahkan diancam akan dibunuh hingga ia bersembunyi di hutan selama tiga bulan, bersama bayinya yang baru berumur kurang lebih 13 minggu.
Tahun 2006 adalah puncaknya, ketika Mama Aleta berhasil mengajak 150 kaum wanita untuk melaksanakan protes dengan cara menenun di pintu area pertambangan. Protes ini dilakukan selama satu tahun lamanya. Aksinya ini berhasil membuat perusahaan-perusahaan penambang menyerah dan meninggalkan tanah Molo.
Perjuangan Mama Aleta dan Dampaknya Terhadap Anak Cucu Kita
Dari cerita perjuangan Mama Aleta, kita menyadari bahwa memperjuangkan lingkungan adalah memperjuangkan hak asasi manusia, memperjuangkan lingkungan adalah memperjuangkan keberlangsungan hidup. Mama Aleta tidak hanya mendapatkan penghargaan di bidang lingkungan, tapi juga penghargaan Yap Thiam Hien Award pada tahun 2016. Penghargaan ini diberikan kepada orang yang sangat berjasa dalam memperjuangkan hak asasi manusia.
Bayangkan jika di Indonesia ada banyak sosok seperti Mama Aleta. Tentu dampak perubahan iklim tidak akan begitu mengguncang negeri.
Perubahan iklim yang kita rasakan selama 10 tahun terakhir merupakan tanda alam untuk kehidupan anak cucu kita di masa depan. Bumi yang semakin panas, musim yang tak menentu, hujan deras yang mengakibatkan banjir dan longsor, dan wabah penyakit. Semua perubahan iklim yang kita rasakan berdampak keras terhadap perekonomian, kesehatan, pendidikan, pertanian dan berbagai sektor lainnya.
Anak-anak adalah pihak yang sangat terdampak oleh perubahan iklim yang kita rasakan. Anak-anak membutuhkan lebih banyak air dan makanan daripada orang dewasa. Anak-anak sangat rentan ketahanan tubuhnya dengan virus, perubahan suhu dan pencemaran lingkungan.
Berdasarkan pengalaman pribadi, selama musim yang tidak menentu, anak saya yang baru berumur empat tahun rutin menderita batuk dan pilek setiap bulan. Hal ini berdampak pada asupan gizi yang otomatis berkurang ketika ia sakit. Kondisi ini juga membuatnya tak bisa masuk sekolah sehingga tertinggal materi yang diberikan di sekolah. Dampak perubahan iklim ini diperparah dengan adanya pandemi Covid-19.
Dalam laporan terbaru UNICEF, “The Climate Crisis Is a Child Rights Crisis: Introducing the Children’s Climate Risk Index”, anak muda di Indonesia berada di urutan ke-46 yang memiliki resiko tertinggi terkena dampak dari perubahan iklim.
“Indonesia termasuk dalam 50 negara teratas di dunia dengan anak-anak yang paling berisiko terpapar dampak dari perubahan iklim dan kerusakan lingkungan. Namun, jika kita bertindak sekarang, kita dapat mencegah situasi ini menjadi lebih buruk.”, demikian kata Perwakilan UNICEF Indonesia Debora Comini, dikutip dari laman UNICEF.
Perubahan iklim yang kita rasakan saat ini adalah akibat perbuatan kita sebagai orang dewasa, namun yang merasakan dampaknya adalah anak cucu kita. Oleh karena itulah kita memiliki tanggungjawab moral untuk segera bertindak melakukan upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Jangan Berhenti Berjuang!
“Tanah adalah daging, air adalah darah, hutan adalah pori-pori atau urat nadi, batu adalah tulang. Maka ketika salah satu hilang, kita sebagai petani akan sangat sedih karena tidak bisa berbuat apa-apa” Itulah filosofi orang Timoer kata Mama Aleta
Perjuangan Mama Aleta yang sangat luar biasa tidak bisa berhenti begitu saja. Indonesia membutuhkan banyak Mama Aleta berikutnya untuk meneruskan perjuangan melindungi lingkungan dan beraksi untuk perubahan iklim. Kita harus #teamupforimpact, tidak hanya masyarakat, tapi juga di sektor swasta, pemerintah dan pemangku kepentingan yang terkait.
Orang Tua Sebagai Garda Terdepan Pejuang Perubahan Iklim
Pendidikan dari orang tua adalah pondasi untuk mempersiapkan anak menghadapi krisis perubahan iklim. Dari dalam rumah, anak-anak ditanamkan tentang pentingnya menjaga lingkungan dengan membentuk kebiasaan-kebiasaan baik yang ramah lingkungan.
Mengenalkan kondisi bumi saat ini dan kemungkinan terburuk di masa depan. Memberikan peringatan sejak dini tentang apa yang harus dilakukan untuk menghadapi krisis yang akan datang. Menanamkan konsep ketuhanan untuk selalu bersyukur, dan menjaga bumi dari kerusakan.
Seruan Kepada Pemerintah, Swasta dan pemangku kebijakan terkait!
Dukungan dari pemerintah, swasta dan pemangku kebijakan terkait tentu akan sangat memberikan dampak yang signifikan terhadap upaya perlindungan anak dari perubahan iklim. Maka, tiga sektor tersebut diharapkan secara mendesak melakukan upaya berikut:
Meningkatkan layanan penting bagi anak agar lebih tahan dan mampu beradaptasi dengan perubahan iklim. Seperti layanan kesehatan, pendidikan, sanitasi dan air bersih.
Menurunkan emisi gas rumah kaca. Pada tahun 2030, Negara-negara di dunia didesak untuk menurunkan kadar emisi gas rumah kaca minimal 45% dari besar emisi gas rumah kaca tahun 2010. Hal ini untuk menjaga suhu bumi agar tidak melebihi 1,5 derajat Celsius.
Memberikan pendidikan dan pengetahuan tentang prubahan iklim dan lingkungan kepada anak, sebagai keterampilan yang penting. Agar mereka dapat beradaptasi dan mempersiapkan diri menghadapi dampak perubahan iklim.
Melibatkan anak muda di semua proses negosiasi dan pengambilan keputusan yang berkaitan dengan iklim, baik pada tingkat nasional, regional, dan internasional. Anak dan remaja harus ada dalam segala pengambilan keputusan yang berhubungan dengan iklim.
Memastikan upaya pemulihan dari COVID-19 tidak bertentangan dengan upaya perjuangan mengatasi perubahan iklim. Seperti yang kita ketahui, Covid-19 memberikan beban berat kepada anak dan remaja padahal mereka masih harus menanggung dampak perubahan iklim.
Krisis Lingkungan adalah Krisis Hak Anak
Lingkungan tidak bisa terlepaskan dari manusia. Dari lingkunganlah segala kebutuhan manusia terpenuhi. Baju yang kita pakai, makanan yang kita makan, air yang kita minum, udara yang kita hirup, bumi tempat kita berpijak. Jika lingkungan rusak, mau lari ke mana kita?
Sebagai manusia yang berbudi luhur dan percaya akan Tuhan. Marilah kita mencoba merenungi hubungan kita dengan lingkungan, hubungan kita dengan Tuhan, dan hubungan kita dengan makhluk hidup lainnya. Bukankah apa yang alam berikan harus sebanding dengan upaya kita melestarikannya?
Perubahan iklim yang kita rasakan saat ini, merupakan peringatan keras, bahwa kita harus bertindak. Bukan hanya untuk kita, tapi #untukmubumiku dan untuk bertanggungjawab terhadap anak cucu atas kerusakan yang kita perbuat. Karena krisis lingkungan adalah krisis hak anak.
Yuk, mulai beraksi! Tak perlu sekuat dan seberani Aleta Baun. Mulai saja dulu dari mengubah hal sederhana di dalam rumah, karena langkah kecil kita lakukan sangat berarti bagi bumi. 🙂
Referensi:
https://www.unicef.org/indonesia/id
Chanel Youtube Official Net News